Minggu, 09 November 2008

Manajemen Pembelian Barang

On October 17, 2008 the Sun Will Rise Continuously for 36 Hours Beli Laptop atau PDA

contributor postDalam kehidupan sehari-hari, kita membutuhkan berbagai sarana pendukung untuk menunjang hidup kita. Sarana penunjang ini biasanya berupa barang, apalagi di era digital ini, banyak kebutuhan elektronik yang kita butuhkan. Para produsenpun berlomba-lomba menawarkan produk mereka. Terlepas dari itu semua, kita sebagai konsumen yang memiliki kapasitas terbatas harus mampu memanajemen pengeluaran, kebutuhan dan pembelian barang yang kita lakukan.

Berdasarkan Pengalaman dan Ilmu yang didapat, maka dapat kami buat
tulisan ini…

1. Tentukan dahulu daftar kebutuhan yang akan kita beli.
2. Buat Prioritas berdasarkan kebutuhan jangka pendek dan jangka panjang.
3. Jika kita sudah menentukan prioritas barang yang kita beli, maka :

  • Buat daftar jenis barang yang sama dengan merk yang berbeda
  • Cari keunggulan dan kelemahan dari masing-masing merk.
  • Dari keunggulan dan kelemahan barang tersebut, bandingkan dengan kebutuhan yang kita perlukan.
  • Bandingkan harga barang-barang tersebut.

4. Beli barang yang kita perlukan. Jika kita mengalami keraguan terhadap pembelian barang tersebut, maka lakukan :
Cek ulang perbandingan harga barang dengan kebutuhan kita atas barang tersebut.
Jika memang barang yang kita butuhkan spesifikasinya sudah sesuai, tapi dana tidak ada, maka turunkan sedikit spesifikasinya dengan melihat harga barang yang dibawahnya, tapi ingat jangan sampai mengganggu kepentingan kita terhadap barang yang akan dibeli.

Jika memang hal itu sudah dilakukan, dan ternyata tidak ada pengganti barang yang kita inginkan, maka hitung nilai barang berdasarkan penyusutannya.

Cara menghitung penyusutan nilai barang :

Susutkan barang maksimal 2 tahun, paling aman adalah 1 tahun (hal ini
berdasarkan masa garansi).Anggap ketika masa garansi habis, nilai
barang adalah Rp. 0,-

Harga barang dibagi jumlah hari dalam satu tahun / 2 tahun, maka akan ketemu nilai barang dalam satu harinya. Bandingkan nilai barang dalam satu hari dengan pendapatan yang akan kita peroleh jika kita memiliki barang tersebut dalam satu harinya. Jika pendapatan dapat meningkat dan lebih besar daripada nilai barang dalam satu harinya, kenapa kita harus bingung lagi untuk membeli barang tersebut, toh dengan barang tersebut pendapatan kita dapat
meningkat……

Catatan, jika membeli barang melalui internet, pertimbangkan berbagai resikonya. Beli di forum lebih aman daripada asal beli yang penting harga murah.

Teori manajemen pembelian barang adalah spt itu, namun dalam kenyataan bisa lebih sederhana, tapi bisa juga lebih rumit…..

Ditulis oleh : Muhammad Arrozi

HUKUM MENYANYI DAN MUSIK

Oleh : Muhammad Shiddiq Al-Jawi

1. Pendahuluan
Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, kalau kita melihat ulah generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau bernyanyi. Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik terkenal yang umumnya memang bermental bejat dan bobrok serta tidak berpegang dengan nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga, mereka cukup sulit atau jarang mendapatkan teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah suasana hedonistik yang mendominasi kehidupan saat ini. Walhasil, generasi muda Islam akhirnya cenderung membebek kepada para pemusik atau penyanyi sekuler yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai media lainnya.

Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena sistem kehidupan kita telah menganut paham sekulerisme yang sangat bertentangan dengan Islam. Muhammad Quthb mengatakan sekulerisme adalah iqamatul hayati ‘ala ghayri asasin minad diin, artinya, mengatur kehidupan dengan tidak berasaskan agama (Islam). Atau dalam bahasa yang lebih tajam, sekulerisme menurut Taqiyuddin An-Nabhani adalah memisahkan agama dari segala urusan kehidupan (fashl ad-din ‘an al-hayah) (An-Nabhani, 2001:25). Dengan demikian, sekulerisme sebenarnya tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik dan seni vokal (nyanyian).

Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan para shahabatnya. Inilah solusi fundamental dan radikal terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.

Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain musik atau melantunkan lagu. Minimal di kampus atau lingkungan kita.

2. Definisi Seni
Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan hukum. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indera pendengar (seni suara), indera pendengar (seni lukis), atau dilahirkan dengan perantaraan gerak (seni tari, drama) (Al-Baghdadi, 1991 : 13).
Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di muka, adalah seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal, adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dll) atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan, dan sebagainya. (Al-Baghdadi, 1991 : 13-14). Inilah sekilas penjelasan fakta seni musik dan seni vokal yang menjadi topik pembahasan.
3.Tinjauan Fiqih Islam
Dalam pembahasan hukum musik dan menyanyi ini, penulis melakukan pemilahan hukum berdasarkan variasi dan kompleksitas fakta yang ada dalam aktivitas bermusik dan menyanyi. Menurut penulis, terlalu sederhana jika hukumnya hanya digolongkan menjadi dua, yaitu hukum memainkan musik dan hukum menyanyi. Sebab fakta yang ada, lebih beranekaragam dari dua aktivitas tersebut. Maka dari itu, paling tidak, ada 4 (empat) hukum fiqih yang berkaitan dengan aktivitas bermain musik dan menyanyi, yaitu :
Pertama, hukum melantunkan nyanyian (ghina`).
Kedua, hukum mendengarkan nyanyian (sama’ al-ghina`).
Ketiga, hukum memainkan alat musik.
Keempat, hukum mendengarkan musik.
Di samping pembahasan ini, akan disajikan juga tinjauan fiqih Islam berupa kaidah-kaidah atau patokan-patokan umum, agar aktivitas bermain musik dan bernyanyi tidak tercampur dengan kemaksiatan atau keharaman.
Ada baiknya penulis sampaikan, bahwa hukum menyanyi dan bermain musik bukan hukum yang disepakati oleh para fuqaha, melainkan hukum yang termasuk dalam masalah khilafiyah. Jadi para ulama mempunyai pendapat berbeda-beda dalam masalah ini (Al-Jaziri, 1999 : 41-42; Asy-Syuwaiki, t.t. : 96; Al-Baghdadi, 1991 : 21-25; Omar, 1984 : 3). Karena itu, boleh jadi pendirian penulis dalam tulisan ini akan berbeda dengan pendapat sebagian fuqaha atau ulama lainnya. Pendapat-pendapat Islami seputar musik dan menyanyi yang berbeda dengan pendapat penulis, tetap penulis hormati.
3.1. Hukum Melantunkan Nyanyian (Al-Ghina`/At-Taghanni)
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum menyanyi (al-ghina`/at-taghanni). Sebagian mengharamkan nyanyian dan sebagian lainnya menghalalkan. Masing-masing mempunyai dalilnya sendiri-sendiri. Berikut sebagian dalil masing-masing, seperti diuraikan oleh Al-Ustadz Muhammad Al-Marzuq Bin Abdul Mu’min Al-Fallaty mengemukakan dalam kitabnya Saiful Qathi’i lin-Niza’ bab “Fi Bayani Tahrimi Al-Ghina` wa Tahrim Istima’ Lahu” (Musik. www.ashifnet.tripod.com), juga oleh Ustadz Abdurrahman Al-Baghdadi dalam bukunya Seni dalam Pandangan Islam (1991 : 27-38), dan Muhammad Asy-Syuwaiki dalam Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas (t.t. : 97-101) :
A. Dalil-Dalil Yang Mengharamkan Nyanyian :
a. Berdasarkan firman Allah dalam QS. Luqman : 6, artinya ”Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan.”
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik atau lagu, di antaranya Al-Hasan, Al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.
Ayat-ayat lain yang dijadikan dalil pengharaman nyanyian adalah QS An-Najm : 59-61, dan QS Al-Isra` : 64 (Al-Jazairi, 1992 : 20-22).
b. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari RA bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina, sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma`azif).”
c. Hadits Aisyah RA Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan menjualbelikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau membacakan ayat di atas.
d. Hadits dari Ibnu Mas’ud RA, Rasulullah SAW bersabda: ”Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.”
e. Hadits dari Abu Umamah RA, Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si penyanyi sampai dia berhenti.”
f. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf RA bahwa Rasulullah SAW bersabda; “Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus syaithan).”
B. Dalil-Dalil Yang Menghalalkan Nyanyian :
a. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Maidah: 87; artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.”

b. Hadits dari Nafi’ RA, katanya: “Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar RA. Dalam perjalanan kami mendengar suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu ?” sampai aku menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang dilakukan Rasulullah SAW.”
c. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra ber-kata; “Nabi SAW mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata; “Di antara kita ada Nabi SAW yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.” Maka Nabi SAW bersabda : “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang kamu (nyanyikan) tadi.”
d. Dari Aisyah RA; dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba Rasulullah SAW bersabda; “Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada permainan.”
e. Dari Abu Hurairah RA, sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang melantunkan syi’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu Hasan berkata; “Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih mulia daripadamu (yaitu Rasulullah SAW)”
C. Pandangan Penulis
Dengan menelaah dalil-dalil tersebut di atas (dan dalil-dalil lainnya), akan nampak adanya kontradiksi (ta’arudh) satu dalil dengan dalil lainnya. Karena itu kita perlu melihat kaidah-kaidah ushul fiqih yang sudah masyhur di kalangan ulama untuk menyikapi secara bijaksana berbagai dalil yang nampak bertentangan itu.
Imam Asy-Syafi mengatakan bahwa tidak dibenarkan dari Nabi SAW ada dua hadits shahih yang saling bertentangan, di mana salah satunya menafikan apa yang ditetapkan yang lainnya, kecuali dua hadits ini dapat dipahami salah satunya berupa hukum khusus sedang lainnya hukum umum, atau salah satunya global (ijmal) sedang lainnya adalah penjelasan (tafsir). Pertentangan hanya terjadi jika terjadi nasakh (penghapusan hukum), meskipun mujtahid belum menjumpai nasakh itu (Asy-Syaukani, t.t. : 275). Karena itu, jika ada dua kelompok dalil hadits yang nampak bertentangan, maka sikap yang lebih tepat adalah melakukan kompromi (jama’) di antara keduanya, bukan menolak salah satunya. Jadi kedua dalil yang nampak bertentangan itu semuanya diamalkan dan diberi pengertian yang memungkinkan sesuai proporsinya. Itu lebih baik daripada melakukan tarjih, yakni menguatkan salah satunya dengan menolak yang lainnya. Dalam hal ini Syaikh Muhammad Husain Abdullah menetapkan kaidah ushul fiqih :
Al-‘amal bi ad-dalilaini --walaw min wajhin-- awlaa min ihmali ahadihima
“Mengamalkan dua dalil –walau pun hanya dari satu segi pengertian— lebih utama daripada meninggalkan salah satunya.” (Abdullah, 1995 : 390)

Prinsip yang demikian itu dikarenakan pada dasarnya suatu dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan (tak diamalkan). Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan :
Al-ashlu fi ad-dalil al-i’mal laa al-ihmal
“Pada dasarnya dalil itu adalah untuk diamalkan, bukan untuk ditanggalkan.” (An-Nabhani, 1994 : 239)

Atas dasar itu, kedua dalil yang seolah bertentangan di atas dapat dipahami sebagai berikut : bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan hukum umum nyanyian. Sedang dalil yang membolehkan, menunjukkan hukum khusus, atau perkecualian (takhsis), yaitu bolehnya nyanyian pada tempat, kondisi, atau peristiwa tertentu yang dibolehkan syara’, seperti pada hari raya. Atau dapat pula dipahami bahwa dalil yang mengharamkan menunjukkan keharaman nyanyian secara mutlak. Sedang dalil yang menghalalkan, menunjukkan bolehnya nyanyian secara muqayyad (ada batasan atau kriterianya) (Al-Baghdadi, 1991 : 63-64; Asy-Syuwaiki, t.t. : 102-103).
Dari sini kita dapat memahami bahwa nyanyian ada yang diharamkan, dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il), atau sarana (asy-yaa`), misalnya disertai khamr, zina, penampakan aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas, mempropagandakan sekulerisme, liberalisme, nasionalisme, dan sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT, mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta, dan semisalnya (Al-Baghdadi, 1991 : 64-65; Syuwaiki, t.t. : 103).

3.2. Hukum Mendengarkan Nyanyian

a. Hukum Mendengarkan Nyanyian (Sama’ Al-Ghina`)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni bi al-ghina`) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina`). Hukum melantunkan lagu termasuk dalam hukum af-`aal (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘aal jibiliyah, yang hukum asalnya mubah. Af-‘aal jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘aal jibiliyyah ini hukum asalnya adalah mubah, kecuali adfa dalil yang mengharamkan. Kaidah syariah menetapkan :
Al-ashlu fi al-af’aal al-jibiliyah al-ibahah
“Hukum asal perbuatan-perbuatan jibiliyyah, adalah mubah.” (Asy Syuwaiki, t.t. : 96).
Maka dari itu, melihat –sebagai perbuatan jibiliyyah—hukum asalnya adalah boleh (ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon, batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu, misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan. Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan,”Saya akan membunuh si Fulan !” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi SAW bersabda :
“Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya (kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah selemah-lemah iman. “ (HR. Imam Muslim, An-Nasa`i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah ).
b. Hukum Mendengar Nyanyian Secara Interaktif (Istima’ Al-Ghina`)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama` al-ghina`). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li al-ghina`). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’) dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina`) adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina`, adalah lebih dari sekedar mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi (Asy-Syuwaiki, t.t. : 104). Jadi kalau mendengar nyanyian (sama’ al-ghina) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri nyanyian (istima’ al-ghina`) bukan perbuatan jibiliyyah.
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif, dan nyanyian serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-ghina`) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram (Asy-Syuwaiki, t.t. : 104). Allah SWT berfirman (artinya) :
“Maka janganlah kamu duduk bersama mereka hingga mereka beralih pada pembicaraan yang lainnya.” (QS An-Nisaa` : 140)
“…Maka janganlah kamu duduk bersama kaum yang zhalim setelah (mereka) diberi peringatan.” (QS Al-An’aam : 68).

3.3. Hukum Memainkan Alat Musik
Bagaimanakah hukum memainkan alat musik, seperti gitar, piano, rebana, dan sebagainya ? Jawabannya adalah, secara tekstual (nash), ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda Nabi SAW :
“Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana (ghirbal).” (HR. Ibnu Majah) (Al-Jazairi, 1992 : 52; Omar, 1983 : 24)
Adapun selain alat musik ad-duff/al-ghirbal, maka ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh Nashiruddin Al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin Al-Albani hadits-hadits yang mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya, seluruhnya dha’if. Memang ada beberapa ahli hadits yang memandang shahih, seperti Ibnu Shalah dalam Muqaddimah ‘Ulumul Hadits, Imam An-Nawawi dalam Al-Irsyad, Ibnu Katsir dalam Ikhtishar ‘Ulumul Hadits, Ibnu Hajar dalam Taghliqul Ta’liq, As-Sakhawy dalam Fathul Mugits, Ash-Shan’ani dalam Tanqihul Afkar dan Taudlihul Afkar juga Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayim dan masih banyak lagi. Akan tetapi Al-Albani dalam kitabnya Dha’if Al-Adab Al-Mufrad setuju dengan pendapat Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla bahwa hadits yang mengharamkan alat-alat musik adalah Munqathi’.
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, Juz VI, hal. 59 mengatakan :
“Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh secara mutlak.” (Al-Baghdadi, 1991 : 57)
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.

3.4. Hukum Mendengarkan Musik
a. Mendengarkan Musik Secara Langsung (Live)
Pada dasarnya mendengarkan musik (atau dapat juga digabung dengan vokal) secara langsung, seperti show di panggung pertunjukkan, di GOR, lapangan, dan semisalnya, hukumnya sama dengan mendengarkan nyanyian secara interaktif. Patokannya adalah tergantung ada tidaknya unsur kemaksiatan atau kemungkaran dalam pelaksanaannya.
Jika terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, misalnya syairnya tidak Islami, atau terjadi ikhthilat, atau terjadi penampakan aurat, maka hukumnya haram.
Jika tidak terdapat unsur kemaksiatan atau kemungkaran, maka hukumnya adalah mubah. (Al-Baghdadi, 1991 : 74).
b. Mendengarkan Musik di Radio, TV, dan Semisalnya
Menurut Al-Baghdadi (1991 : 74-76) dan Asy-Syuwaiki (t.t. : 107-108) hukum mendengarkan musik melalui media TV, radio, dan semisalnya, tidak sama dengan hukum mendengarkan musik secara langsung sepereti show di panggung pertunjukkan. Hukum asalnya adalah mubah (ibahah), bagaimana pun juga bentuk musik atau nyanyian yang ada dalam media tersebut.
Kemubahannya didasarkan pada hukum asal pemanfaatan benda (asy-yaa`) –dalam hal ini TV, kaset, VCD, dan semisalnya-- yaitu mubah. Kaidah syar’iyah mengenai hukum asal pemanfaatan benda menyebutkan :
Al-ashlu fi al-asy-yaa` al-ibahah ma lam yarid dalilu at-tahrim
“Hukum asal benda-benda, adalah boleh, selama tidak terdapat dalil yang mengharamkannya.” (Al-Baghdadi, 1991 : 76)
Namun demikian, meskipun asalnya adalah mubah, hukumnya dapat menjadi haram, bila diduga kuat akan mengantarkan pada perbuatan haram, atau mengakibatkan dilalaikannya kewajiban. Kaidah syar’iyah menetapkan :
Al-wasilah ila al-haram haram
“Segala sesuatu perantaraan kepada yang haram, hukumnya haram juga.” (An-Nabhani, 1963 : 86)

4. Pedoman Umum Nyanyian dan Musik Islami
Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, penulis ingin membuat suatu pedoman umum tentang nyanyian dan musik yang Islami, dalam bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4 (empat) komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian atau alunan musik yang indah (Islami) :
1. Musisi/Penyanyi.
2. Instrumen (alat musik).
3. Sya’ir dalam bait lagu.
4. Waktu dan Tempat.
Berikut sekilas uraiannya :
1). Musisi/Penyanyi
a) Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr/ma’ruf) dan menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak jihad fi sabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi, menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman penguasa sekuler.

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor atau bhiksu, dan sejenisnya.

c) Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat, berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.
2). Instrumen/Alat Musik
Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah :
a) Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.

b) Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
3). Sya’ir
Berisi :
a) Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya) dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan sebagainya)
b) Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c) Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d) Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e) Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi :
a) Amar munkar (mengajak pacaran, dsb) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
c) Mencela Allah, Rasul-Nya, Al-Qur`an.
d) Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
e) Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dsb).
f) Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
4). Waktu dan Tempat
a) Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b) Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c) Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d) Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur baur).
5. Penutup
Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan mengenai hukum menyanyi dan bermusik dalam pandangan Islam. Tentu saja tulisan ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan kritik konstruktif sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi.
Penulis sadari bahwa permasalahan yang dibahas ini adalah permasalahan khilafiyah. Mungkin sebagian pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum menyanyi dan musik ini, dan perbedaan itu sangat penulis hormati.
Semua ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi –walau pun cuma secuil—dalam upaya melepaskan diri dari masyarakat sekuler yang bobrok, yang menjadi pendahuluan untuk membangun peradaban dan masyarakat Islam yang kita idam-idamkan bersama, yaitu masyarakat Islam di bawah naungan Laa ilaaha illallah Muhammadur Rasulullahi. Amin. [ ]
Wallahu A’lam Bis-Shawab.
DAFTAR BACAAN

Abdullah, Muhammad Husain. 1995. Al-Wadhih fi Ushul Al-Fiqh. Cetakan II. (Beirut : Darul Bayariq).
Al-Amidi, Saifuddin. 1996. Al-Ihkam fi Ushul Al-Ahkam. Juz I. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
Al-Baghdadi, Abdurrahman. 1991. Seni Dalam Pandangan Islam. Cetakan I. (Jakarta : Gema Insani Press).
Al-Jazairi, Abi Bakar Jabir. 1992. Haramkah Musik dan Lagu ? (Al-I’lam bi Anna Al-‘Azif wa Al-Ghina Haram). Alih Bahasa oleh Awfal Ahdi. Cetakan I. (Jakarta : Wala` Press).
Al-Jaziri, Abdurrahman. 1999. Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah. Juz II. Qism Al-Mu’amalat. Cetakan I. (Beirut : Darul Fikr).
Asy-Syaukani. Tanpa Tahun. Irsyadul Fuhul Ila Tahqiq Al-Haq min ‘Ilm Al-Ushul.(Beirut : Darul Fikr).
Asy-Syuwaiki, Muhammad. Tanpa Tahun. Al-Khalash wa Ikhtilaf An-Nas. (Al-Quds : Mu`assasah Al-Qudsiyah Al-Islamiyyah).
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III (Ushul Al-Fiqh). Cetakan II. (Al-Quds : Min Mansyurat Hizb Al-Tahrir).
----------. 1963. Muqaddimah Ad-Dustur.(t.t.p. : t.p.).
----------. 1994. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz I. Cetakan IV. (Beirut : Darul Ummah).
----------.2001. Nizham Al-Islam. (t.t.p. : t.p.).
Ath-Thahhan, Mahmud. Tanpa Tahun. Taysir Musthalah Al-Hadits. (Surabaya : Syirkah Bungkul Indah).
Bulletin An-Nur. Hukum Musik dan Lagu. www.alsofwah.or.id
Bulletin Istinbat. Mendengarkan Musik, Haram ? www.sidogiri.com
Fatwa Pusat Konsultasi Syariah. Lagu dan Musik. www.syariahonline.com
Kusuma, Juanda. 2001. Tentang Musik. www.pesantrenvirtual.com
“Norma Islam untuk Musisi, Instrumen, Sya’ir, dan Waktu”. Musik. www.ashifnet.tripod.com

Omar, Toha Yahya. 1983. Hukum Seni Musik, Seni Suara, dan Seni Tari Dalam Islam. Cetakan II. (Jakarta : Penerbit Widjaya).
Santoso, Iman. Hukum Nyanyian dan Musik. www.ummigroup.co.id
Wafaa, Muhammad. 2001. Metode Tarjih Atas Kontradiksi Dalil-Dalil Syara’ (Ta’arudh Al-Adillah min Al-Kitab wa As-Sunnah wa At-Tarjih Baynaha). Alih Bahasa oleh Muslich. Cetakan I. (Bangil : Al-Izzah

Teladan Da’wah Ibrahim ‘Alaihissalaam


Ditulis oleh Heri Setiawan di/pada Februari 1, 2008

Orang tua kita, ayah, ibu, paman, bibi, mungkin mertua merupakan obyek dakwah yang strategi. Kelompok inilah yang akan memberikan dukungan utuh bila aktivis muslim terhimpit cobaan dan ujian dakwah. Ini terjadi jika ortu sudah terkondisikan untuk dapat menerima dakwah. Sebaliknya, jika kelompok ini diabaikan maka boleh jadi akan menjadi bumerang bagi kita. Di sinilah perlunya kehati-hatian. Pendekatan yang salah dapat menimbulkan ekses yang tak sehat antara kita dengan orang tua. Bahkan tak jarang hubungan jadi terputus hanya karena kesalahan awal pada pendekatan.

Dua karakteristik mad’u

Secara global ada 2 macam tipe karakteristik mad’u..

  • Pertama, ada orang yang sudah tertutup hatinya. Tipe ini benar-benar sulit untuk didakwahi sekalipun sudah disampaikan dengan berbagai caradan pendekatan terbaik. Namum menarik kesimpulan seperti ini tidak dibolehkan kecuali jika jika dakwah telah diperjuangkan, sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Nuh As[QS. Nuh:5-20]. Bukan hanya sekali atau dua kali mencoba lalu gagal dan memvonis mad’u tidak layak didakwahi.
  • Kedua, tipe yang terbuka hatinya. Kerja dakwah ibarat sales yang menjajakan barang dagangan. Ia harus disajikan dengan cara yang baik dan menarik, benar. Lewat kisah nabi Ibrahim as, Qur’an menyajikan uslub[cara] yang baik dan menarik.

8 Rambu dakwah Nabi Ibrahim As[ Maryam 41-50]

  1. Berlaku lemah lembut dan hindarkan kesan menggurui. Secara manusiawi, orang yang lebih tua tidak mau digurui oleh yang lebih muda. Bahkan cara ini harus dilakukan dimulai sampai pada tingkat pemanggilan yang sudah harus terkesan lembut. Allah swt berfirman : “Ingatlah ketika ia [Nabi Ibrahim] berkata kepada bapaknya : ‘wahai bapakku’” [Maryam 42]. Pada kata ya abati dalam bahasa arab digunakan lilmulathafah yaitu panggilan yang mengesankan rasa sayang dan manja. Insya Allah, jika hati orang tua masih terbuka, panggilan yang tampaknya sederhana ini akan tergugah jiwanya.
  2. Memiliki hujjah yang kuat dan mematikan. Ini seperti yang dilakukan oleh nabi Ibrahim As dalam QS Maryam:42. Suatu penjelasan yang sederhana, namun mampu menjadikan orang tuanya berpikir secara logis terhadap kesalahan yang dilakukan.
  3. Selalu berupaya menambah ilmu pengetahuan dan mampu menampakkan keilmiahan dakwah yang dibawanya. Inilah yang tersirat dalam kata-kata Nabiyullah Ibrahim as. pada orang tuanya [Maryam : 43]. Oleh karena itu aktif membaca, mengikuti kajian ilmiah, akrab dengan Al-Qur’an dan hadist adalah kelaziman bagi semua aktivis.
  4. Mampu menjelaskan jalan-jalan kesesatan yang ditebarkan setan dan tentaranya [maryam : 44]. Mampu menjelaskan tokoh setan manusia, cara penyebaran dan sarana penyesatannya. Mengetahui jalan kesesatan mempunyai urgensi besar dalam upaya menyebarkan da’wah sehingga jelaslah mana yang lawan dan mana yang kawan. Mana ajaran yang baik mana yang ghazwul fikr [Al An'am: 55].
  5. Memiliki ruhiah yang tinggi, sehingga mampu mengingatkan orang tua dengan adzab Allah yang ditimpakan baik di dunia maupun di akhirat bagi orang yang terus-menerus jauh dari ajaran Allah. [Maryam : 45]
  6. Memiliki kesiapan yang tinggi mengenai resiko dakwah. Misal, pengucilan, pengusiran, dan mungkin kekerasan. Mush’ab bin Umair dan Sa’ad bin Abi Waqqash adalah di antara sahabat yang merasakan beratnya tantangan ini. Namun hal ini berhasil mereka hadapi dengan sikap tsabat [teguh]. [19:46]
  7. Menjaga hubungan baik dengan orang tua sekalipun menjadi penantang dakwah. Tetap senantiasa mendoakan agar mereka kembali ke jalan yang diridhai Allah. Itupun yang dilakukan Ibrahim as dalam QS Maryam : 47
  8. Seorang da’i harus teguh dalam menghadapi ujian da’wah dari orang tua. [Maryam : 48]

“KEBERSIHAN SEBAGIAN DARI IMAN” BUKAN HADITS NABI SAW


Ditulis oleh Farid Ma'ruf di/pada Nopember 27, 2007

Tanya :
Apakah benar istilah ”Kebersihan Sebagian Dari Iman” merupakan hadits atau hanya semboyan saja ? Mohon penjelasan penjelasan bapak. (Hamba Allah, Jakarta)

Jawab :
Ungkapan ”Kebersihan Sebagian Dari Iman” (Arab : an-nazhaafatu minal iimaan) sebenarnya bukanlah hadits Nabi SAW, namun hanya sekedar peribahasa atau kata mutiara yang baik atau Islami.

Ringkasnya, jika ditinjau apakah ungkapan itu hadits Nabi SAW atau bukan, jawabnya bukan hadits Nabi SAW. Sebab tidak terdapat hadits berbunyi demikian dalam berbagai kitab hadits yang ada, sejauh pengetahuan kami. Namun kalau ditinjau apakah ungkapan itu Islami atau tidak, jawabnya Islami. Sebab ungkapan itu didukung oleh sebuah hadits hasan seperti yang akan kami sebutkan.

Memang, ada hadits sahih dari Nabi SAW yang mirip dengan kalimat ”Kebersihan Sebagian Dari Iman”. Hadits itu adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi,”Ath-thahuuru syatrul iimaan…” (HR. Ahmad, Muslim, dan Tirmidzi) (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, II/57; Imam Al-Qazwini, Bingkisan Seberkas 77 Cabang Iman (Terj. Mukhtashar Syu’abul Iman Li Al-Imam Baihaqi), hal. 66-67).

Namun arti hadits Nabi tersebut adalah,”Bersuci [thaharah] itu setengah daripada iman….” Kata ath-thahuuru dalam hadits itu artinya tiada lain adalah bersuci (ath-thaharah), bukan kebersihan (an-nazhafah), meskipun patut diketahui ath-thaharah secara makna bahasa artinya memang kebersihan [an-nazhaafah] (Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/6). Tetapi dalam ushul fiqih terdapat kaidah bahwa arti asal suatu kata dalam al-Qur`an dan Al-Hadits adalah arti terminologis (makna syar’i), bukan arti etimologis (makna bahasa). Imam Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyah Juz III hal. 174 menyebutkan kaidah ushul fiqih yang berbunyi :

Al-Ashlu fi dalalah an-nushush asy-syar’iyah huwa al-ma’na asy-syar’iy

“Arti asal nash-nash syariah [Al-Qur`an dan As-Sunnah] adalah makna syar’i.”

Karenanya hadis Nabi SAW di atas hendaknya diartikan “Bersuci itu setengah daripada iman”, dan bukannya ”Kebersihan itu sebagian daripada iman.”

Suci dan bersih itu berbeda. Suci (thahir) adalah keadaan tanpa najis dan hadas, baik hadas besar maupun hadas kecil, pada badan, pakaian, tempat, air, dan sebagainya. Bersuci (thaharah) adalah aktivitas seseorang untuk mencapai kondisi suci itu, misalnya berwudhu, tayammum, atau mandi junub. (Taqiyuddin al-Husaini, Kifayatul Akhyar, I/6). Sedang bersih (nazhif) adalah lawan dari kotor yaitu keadaan sesuatu tanpa kotoran. Sesuatu yang kotor bisa saja suci, meski ini tentu kurang afdhol. Sajadah yang lama tidak dicuci adalah kotor. Tapi tetap disebut suci selama kotoran yang menempel hanya sekedar debu atau daki, bukan najis seperti kotoran binatang.

Demikian pula sesuatu yang bersih juga tidak otomatis suci. Seorang muslim yang berhadats besar (misal karena haid atau berhubungan seksual) bisa saja tubuhnya bersih sekali karena mandi dengan sabun anti kuman atau desinfektan. Tapi selama dia tidak meniatkan mandi junub, dia tetaplah tidak suci alias masih berhadas besar.

Walhasil, suci atau bersuci berkaitan dengan keyakinan seorang muslim, yang sifatnya tidak universal. Maksudnya hanya menjadi pandangan khas di kalangan umat Islam. Sedang bersih atau kebersihan berkaitan dengan fakta empiris yang universal, yaitu diakui baik oleh umat Islam maupun umat non Islam.

Kembali ke masalah hadits di atas. Kesimpulannya, yang ada adalah hadits Nabi SAW yang berarti ”Bersuci Adalah Sebagian Dari Iman”, dan bukan ” Kebersihan Sebagian Dari Iman.”

Namun demikian, kalimat ” Kebersihan Sebagian Dari Iman” merupakan ungkapan yang baik (Islami), karena didukung sebuah hadits yang menurut Imam Suyuthi berstatus hasan, yakni sabda Nabi SAW :

”Sesungguhnya Allah Ta’ala adalah baik dan mencintai kebaikan, bersih dan mencintai kebersihan, mulia dan mencintai kemuliaan, dermawan dan mencintai kedermawanan. Maka bersihkanlah halaman rumahmu dan janganlah kamu menyerupai orang Yahudi.” (HR. Tirmidzi) (Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Ash-Shaghir, I/70; Muhammad Faiz Almath, 1100 Hadits Terpilih, [Jakarta : GIP], cetakan keenam, 1993, hal. 311).

Hadits di atas menunjukkan bahwa kebersihan (an-nazhafah) merupakan sesuatu yang dicintai Allah SWT. Maka dari itu ungkapan ” Kebersihan Sebagian Dari Iman” kami katakan sebagai ungkapan yang baik atau Islami karena ada dasarnya dalam Islam yaitu hadits riwayat Tirmidzi di atas. Ungkapan itu dapat diberi arti, bahwa menjaga kebersihan segala sesuatu merupakan bukti atau buah keimanan seorang muslim, karena dia telah beriman bahwa Allah SWT adalah Dzat Yang Mahabersih (nazhiif). Wallahu a’lam. (www.konsultasi.wordpress.com)

Kamis, 06 November 2008

Ikhas3

Ikhlas party
WASPADA Online

By KH. Abdullah Gymnastiar
To be written Waspada Daily
May Allah grant our hearts are sincere, albeit because of fatigue, terkuras not mind if there is not sincere on the value of God. Quite a fortune for a large-hearted. Those who are sincere people that the quality of beramalnya in conditions there or not there are people who are considering the same.
In contrast with the less sincere, ibadahnya had better be done when there are other people who pay attention. Then, as signs of whether the person is sincere?
First, he did not seek popularity and does not obtrude. Because he was aware, sehebat any of fame on the human no means in the face If God does not have sincerity. A servant is not sincere experts busy obtrude, his charitable breathe, flaunt wealth, keilmuannya, position, and various other secular mask. Therefore, if God allows no menghinakannya
Second, no longing terkecoh compliment and not a compliment. But praise for him on suspicion of us, when we know ourselves that the situation was. For a sincere, praised, valued, not praised, even dicaci same. Because for him the praise of Allah is the most important. Allah is the goal of all charitable.
Third, not strong and love the department. He did not assess the rank and position someone, but that is considered the responsibility of the trustee from office. But the servant of God that is not sincere and proud because ujub office.
Fourth, no dipebudak benefits and considerate reply. A very sincere worshipers of experts to believe the promise and assurance of God, it is impossible for God's promises belie him. For a servant who tirelessly, sustenance when he is not when things do get something. Enough replies from God alone, that will not slip, and will not be one of his calculations.
Fifth, not easily disappointed. A true-hearted sure that what diniatkan well, or did not happen and that he niatkan that, everything would have been seen and assessed by Allah SWT.
Sixth, does not distinguish Big Charity and Charity Small. A servant who tirelessly do not care charity is small in view of the human or not, there is a witness or not. Because God is none of that paltry If the charity is done with sincere wholeheartedly because Allah.
Seventh, not fanatical groups. A Muslim who is very sincere aware that the goal of life is a struggle of good deeds, so that it will defend the interests of the diridhoi by God. No tegantung personal feelings. During what was to be the defense of Islam, then he will be on the defense.
Eighth, Light, and Why lahab party. Sincerity is the fruit of a deep conviction that a servant of God that any act that favored by God, can make them grow closer to God, will be the program kesehariannya. All done with light, lahab, and favors.
Ninth, not because of selfish interests always be together. Hearted people who do not have objections to the presence of other, more clever, more sholeh, more of the quality. Despite the views of people he will tesaingi with the presence of people who exceed himself, but who does not sincere search for popularity. Theirs is the most important forward together with the interest.
Tenth, make no distinction in the crowd. A sincere will not mark off a friend. Sapanya thought will not be limited to certain people, senyumnya will not be limited to which, and the door is always open to anyone.
A similar situation, so luhurnya signs of a servant who tirelessly. pakah signs were there in ourselves? As for the slaves in Saint himself has dilingkupi signs of sincerity. Wallahu a'lam bish showab
Indonesia
»
Inggris
Terjemahkan

Ikhlas2

By Noer Bahry Noor
(PD III Unhas FKM)

SINCERE is the basic cause of all the major religious charities we accepted by God Almighty. Therefore, fortunately not based on the sincere will be the only man left, the terms of thanks, but I do Makassar 'Gayana ji'.


The patient is not sincere discussion will be a human patient, but he said that ngedumel like, 'sabbara' mangittu 'said the elders first (Bugis people),

likewise sincere apology that will not impress insipidity in Coffee, said the Bugis people "Siamak-amakni mingka MAKEMMEH muapi" means baikan but persahabatannya have still not seakrab flat as before.

Repentance and not understanding that this is the sincerity with which people often turned to tobatnya term 'tomato' means a more difficult tobatnya seriously but more happy, happy,

many gifts are you doing, diseases' recurrence 'that refuse will be reluctant promise and do better, recurrent kikirnya, lazy prayer recurrence, recurrent penipunya, came isengnya act, so again, etc. corruptor.

There are three ways to implement sincere in our every activity (1) said in a heartfelt, the words and all related tongue yamg (2) in a sincere heart, and (3) tirelessly in the event, act, practice, and we all worship to God Almighty.

The fourth component (1) thanksgiving (2) the patient, (3) sorry (4) repentance when they made Illustration is like the wall-hand side of the cube, thank the front wall, back wall SA, pardon the left wall and turned to the right wall .

Hearted as the wall down (alas) cube, whereas the top of the wall is part of ourselves open to God Almighty that will be filled by the God Almighty according to the practice of the fifth wall.

You have the content there, but because there is one component of these 'weak' may be less than thankful, patient or not, or are reluctant to give pardon or lazy to repent,

the cube's walls, a weak 'open' so how can about the content, Allah 'overflow' through the wall was weak.

Can only spill to the front, back, side to the left or right. Alone again if the weakness is more than one. However, the most vulnerable if there is weakness in the basic cube we (Ikhlas).

If this is how weak the strong wall of the front, back, left or right, but spilled to the bottom and there is no remaining as the 'sincerity' we are not there.

Source: (p16)
Ikhlas, Thou We hope the
Developments messenger, never leave home without a questioner answers. He is a barn in science and will always try to provide answers to all his questions. No one in his face that depart from the messenger, unless he has memiki exit from the problems encountered.
In an al-Hadith as-Sharif he said,''Ana madiinatul ilmi (It all science city). However, there is one question, which Rasullullah not directly answer it. What on earth so that the question should ask the Messenger of Allah, mengernyitkan brow and extort the brain? O''is the messenger of what it is that with sincere?''Ask a friend.
After a sojourn, arguably the focus of attention, and questions similar to the Angel Gabriel As. ''I asked him about Gabriel As sincere, heartfelt whether it?''Then He said to God the Most Holy sincere about whether, in fact? Allah SWT He said the man,''a secret from the secret-KU, which I place in the hearts of worshipers that KU My love.''
If the picture is as sincere taught that God through Gabriel submitted to the messenger, the how many among us who do not have them. For, only the servants of God who loved the creatures can have a''heartfelt''is.
According to Imam al-Qusyairi an Naisabury, if someone has a candor, he will make God as the only purpose of life. What is done solely for Allah, even though he do to reduce the suffering fellow human beings. He will always help people, the reason is because God is pleased Dzat help. It will work if the God that purpose.
Once the difficulty to find form in the hearts of all sincere people, up-to the messenger careful definition hearted. Therefore, the messenger then gave his assurance to have the venerability this. For him, so the Messenger, handcuffs will not be any successful, albeit not stop once in the heart of a sincere (slave).
Such as whether the characteristics of people who hearted? Friends of Anas Ibn Malik said that the Messenger of Allah said,''handcuffs will not enter into the heart of a Muslim if he keep three things; hearted do only for Allah, give a sincere advice to a ruler and still together with the Muslim community.''
Once the nature of the severity of this pattern one's life, until there ujaran-up to the states,''if someone still see the sincerity in attitude ikhlasnya, then keikhlasannya still need more sincerity,''said Abu Ya'qub as-Susi.
For a sincere, all perbuatannya will always be based on sound conscience for the good of all people and all living creatures. If arising in the heart of a good, he will do so. Life flows such as flood, calls what is in front. To what did he do, he has forgotten what is called the praise and censure. ''Charitable giving no more room for the birth of a compliment or insult,''said Dzun Nun al-Mishry. He will continue to work according to God's message, even though the man in the surrounding give praise or even mencelanya.
Indeed, Indonesia is a need people like this to be a leader who can issue of whaling nation that is not stopping the crisis. Leaders of this kind will always work according to the mandate of the people, even though he was not aware that there are people memujinya. He always worked without compromise against violators and traitor people, although dicerca will know many people, even colleagues.
For people whose lives curtain covered sincerity, but will always forget what he has been Practice good. Curiously, the leaders have the mandate of the people do not ever want to work and do. Even if it should work, whether he is still waiting to open opportunities for the emergence of a compliment. Keberaniannya combat corruption directly contract, after counting how many will mencercanya.
How might these leaders will dare risk dicerca while the corresponding duty to do it is difficult to be expected. ''He will be forgotten charitable when he does,''said Abu al-Utsman Maghriby.
In fact, someone who does the sincere, he will also forget the rights of return later in the Hereafter. He will forget''their rights to obtain benefits reward in the Hereafter, because charity is good.''
Indeed difficult to find leaders like this. Until the promise of rewards that Allah is not prepared, it will be one. He did not bargain with God in every charitable. Charitable really do not because of the praise and censure, after the clips do, do not even concerned with the rights yan reward God has promised him. Indeed!
Measure sincere or not a leader, must be guided to the definition of religion and never menimbangnya according to taste, culture and opinion about the sincerity. When disederhakan, sincerity is a correct and diniati only to God, even though the form and process vary.
Become very ironic because the nation is not accustomed to give that to a teacher about, he refused to provide benefits only reason for worry with the sincerity of the offending ustasa. There is also a berkilah,''sorry I can not give fee for a taxi to go home because I worry Pak My entry in the category of people who sell the verses of Allah,''so other reasons about a student. For the community such as this, people will always sincere''''frostbitten, do not have the dynamics of life and living away from the center crowd.
A slave who will always accept in any position; sincere and heartfelt as rich as the poor. A person can be sincere and be as rich as the poor are not sincere. Can also hearted people in poverty but not sincere in wealth. Sincerity is not necessary ditampak-tampakkan claiming himself as the more sincere, keikhlasannya rate decrease. Like oil, so cover is opened, immediately evaporate. Hearted people, though said to be not sincere will not defend themselves, as if he was angry because it is said not sincere, it marks ketikadikhlasan.
As the fruit is sincere? Results of a sincerity can be seen in the background, not in the future and not in the middle. Because mentioned in the Qur'an,''Walillaahi 'aqibatul umuur.''Belongs to God resultan of all phenomena. He will only prove him an academic at the end of a phenomenon.
Many times we see in very many places that only a theologian with the strength of the forest itself and then chop into boarding offering Surabaya. The results of sincerity, not because of righteous. Until he died, the result still cross generations. Meanwhile, many people who make the committee with 50 people all undergraduate, I do not mushalla small so-so. Actually, is the thousands of proposals sent to it here.
Leaders of the world heard the leader is sincere because of the teachings of the universal nature hearted, cross-religious, not the monopoly of Islam. Non-Islamic people can be sincere with berkonotasi humanitas. In the Islamic konotasinya Li Wajhillah. We beg to God that in this country born leaders hearted, not for the lead himself, but because the commandments of God. Wallaahu A'lamu Bisshowaab.
(A KH Hasyim Muzadi)